Hindi Belanda |
Semenjak keikutsertaan Hindia-Belanda di piala dunia Perancis tahun 1938, Indonesia belum pernah lagi sampai pada putaran final. Meskipun saat itu belum memakai sistem babak kualifikasi dan Indonesia saat itu langsung lolos ke putaran final piala dunia. Ironis memang jika kita menyadari Indonesia yang berpenduduk sekitar 250 juta orang, sebagaian besar adalah penggemar sepakbola tidak bisa menemukan 20 orang saja untuk membawa negara kita ke puncak pergelaran piala dunia yang dianggap sebagai event olahraga terbesar sejagad.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 kita hanya bisa dan harus puas sebagai penikmat dan penonton piala dunia saja. Setiap kali ada penyelenggaran piala dunia kita bisa melihat antusiasme masyarakat kita, dari pedesaan sampai dengan perkotaan bahkan istana negara menyelenggarakan nonton bersama meski hanya bisa sebagai penggembira dan pendukung bagi negara lain.
bola.net |
Apakah kita sudah puas sebagai penggembira dan penonton saja ?, bukankah Indonesia sebagai bangsa yang besar sudah seharusnya turut serta di pergelaran akbar tersebut...? Bayangkan bagaimana rasa kegembiraan dan senangnya rakyat Indonesia seandainya melihat anak bangsa berjuang disana..?. Jangankan piala dunia, ajang piala AFF yang setingkat asia tenggara saja dapat memicu dan menggelorakan rasa nasionalisme yang luar biasa.
Kita Punya Potensi
Untuk turut serta di pergelaran piala dunia, kita harus berjuang dari babak kualifikasi I zona asia sampai dengan kualifikasi akhir yang akan mempertemukan juara dari masing-masing group. Untuk zona asia jumlah tim yang akan lolos ke putaran final piala dunia biasanya hanya 4 sampai 6 tim memang terbilang sedikit jika dibandingkan dengan zona Eropa yang bisa sampai 16 tim ataupun Amerika yang bisa sampai 10 tim. Padahal negara di asia jauh lebih banyak dari pada negara dari zona lain.
Tapi itu bukan alasan dan jangan menjadi hambatan karna FIFA sebagai induk sepakbola pasti sudah menghitung potensi dan kemampuan serta prestasi yang diraih timnas dari masing-masing zona. Untuk itu kita harus berubah dan melakukan persiapan jangka panjang, yang paling penting adanya political will dari pemerintah, berupa kebijakan dan dukungan dalam segala aspek. Pada masa sekarang olahraga seperti sepakbola sudah menjadi ajang pembuktian dan identitas suatu bangsa, jadi sudah sewajarnya pemerintah turut serta dengan serius supaya bangsa kita sejajar dengan bangsa lainnya.
Kita punya 250 juta penduduk yang sebagian besar adalah usia muda, untuk mempersiapkan 20 orang saja pesepakbola unggul logikanya pasti sangat mudah. Tapi yang menjadi kesalahan selama ini kita sudah dirusak oleh sistem dan kebiasaan yang kita buat sendiri. Kita sepertinya jalan ditempat semakin lama semakin tertinggal dari negara sekitar kita.
Kita punya peraturan dan kebijakan (UU Keolahragaan) namun implementasinya nihil. Kita punya kepengurusan dan organisasi (PSSI-red) tapi lebih sering bermasalah karna ditempati oleh orang-orang politik atau pemerintahan bukan profesional. Kita punya prasarana tapi sebagian besar dibawah standar dan tidak dirawat atau bahkan dirusak. Kita punya liga sepakbola tapi lebih sering bermasalah dari pada menghasilkan prestasi yang membanggakan.
Jadi adakah baiknya sepakbola dinegeri ini..? pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Solusinya kita harus mau melakukan perubahan dari sistem dan kebiasaan yang kita lakukan selama ini. Jika selama ini kita hanya mencintai sepakbola maka kita harus mulai menendang bola, belajar mengumpan dan menggiring bekerja sama untuk memperoleh gol. Kita harus berani melakukan revolusi dan reformasi olahraga termasuk membuang sistem dan mindset yang selama ini hanya membawa kegagalan dan kegagalan.
Jika kita ingin melihat contoh yang baik kita bisa lihat negara-negara
maju di eropa seperti Italia, Jerman, Spanyol, Perancis atau Inggris.
Mereka memliki kebijakan, prasarana, pembinaan dan liga yang sangat baik
dan tertata rapi bahkan sepakbola sudah dijadikan industri dan
penghasil devisa negara. Tentu saja jika kita mengikuti model ini masih sulit dan butuh investasi yang besar.
Tapi sepakbola tidak selamanya adalah urusan uang (dana) kita bisa lihat beberapa negara sebagai perbandingan. Brazil sebagai contoh pertama, dari dulu negara ini dianggap sebagai negara sepakbola, juara piala dunia 5 kali. Mereka sebenarnya adalah negara berkembang belum memiliki fasilitas yang terbaik dan liga lokal yang mirip dengan Indonesia. Tapi mereka banyak memiliki pesepakbola "ekspor" ke berbagai negara. Sistem seperti ini mirip dengan tetangga mereka seperi Argentina, Chili dan Uruguay.
Contoh yang lain adalah Meksiko, Korea utara, Kroasia, Bosnia, atau bahkan Togo dan negara miskin lainnya. Sebagaian dari negara "kecil" ini bahkan baru saja merdeka dan telah porak poranda karena perang. Tapi mereka berhasil ke putaran final piala dunia bermodalkan semangat juang dan kerja keras. Negara-negara ini memiliki antusiame dan rasa nasionalisme yang tinggi bermain sepakbola bagi mereka adalah kebanggaan bukan hanya mengenai uang. Sesuatu yang sudah jarang kita temukan dari masyarakat kita apalagi pesepakbola kita.
Sedikit Harapan..?
Meskipun dengan semua permasalahan yang ada, kita tetap dapat menikmati sepakbola itulah mungkin ciri kita sebagai bangsa besar yang tertidur. Kita cukup puas bermimpi menuju pentas dunia sambil melihat dan bermimpi bahwa Messi atau Ronaldo adalah kita sendiri. Nasionalisme semu dengan mendukung negara lain dan kadang beradu argumen sesama anak bangsa demi membela mereka.
Semoga saja kedepannya prestasi tim-tim junior kita berlanjut dan menular ke timnas senior dan pada akhirnya kita dapat melihat timnas Indonesia di piala dunia. Jarak antara piala dunia memang cukup lama 4 tahun, namun hanya butuh satu bulan menyelesaikannya. Itu adalah sebuah pengandaian bahwa dalam sepakbola dibutuhkan proses yang panjang dan kontiniu tidak bisa instan meskipun bertandingnya hanya 2x45 menit. Kelemahan yang ada pada bangsa kita yang suka cari jalan pintas dan cepat meski salah dan berbahaya.
Jalan pintas menuju piala dunia salah satunya adalah menjadi penyelenggara atau tuan rumah piala dunia. Jika itu yang ingin kita lakukan berarti butuh waktu minimal 8-12 tahu lagi karna sampai tahun 2022 FIFA sudah menentukan tuan rumahnya, itupun harus bersaing dengan negara-negara maju dalam ekonomi dan prestasi sepakbolanya. Cara seperti ini bisa kita lihat di Afrika Selatan (2010) yang merupakan negara berkembang yang sama dengan kita.
Akhir kata semoga kita dapat belajar dari perhelatan piala dunia Brazil 2014 ini dan semoga sepakbola kita semakin baik dan berjaya.
Salam olahraga...!!!!